Oleh: Rolly Toreh
Pukul 9 malam diatas kasur putih, meski tubuh terasa dedar karena mendekam sakit, sorban putih mengikat longsong kepala, perban putih menempel di dahi, sang ayah terlihat tegar mendemonstrasikan harapannya.
“Siklus hidup manusia tidak pernah berhenti, Ambo. Contohnya, ada orang sukses tak lama berselang , jatuh tertimpa tangga lantas bangkrut dan menderita. Ada juga orang yang perlahan-lahan mencicipi derita dan air mata tapi ujung-ujungnya kemudian bahagia..”
Fantasi itu mengernyitkan dahi Ambo. “Ayah, tak akan kulewatkan sedetikpun menggapai bahagia itu. Meski ayah sekarat tapi tekad itu tak harus terhambat.” Pungkas Ambo sedih ketika ayahnya cuma menebar senyum lapuk dan buram. “Tak perlu ayah memikirkan rasa sakit itu. Ayah harus kuat dan semakin dinamis meski kondisinya bertolak belakang. Tapi, itu masih terbaik ketimbang kita lelap dengan derita..”
Malam itu, malam yang mengubah nadir sentral anak semata wayang. Setelah ditinggal ibu setahun lalu karena tertabrak mobil kini Ambo meringkuk di depan kondisi lunglai sang ayah. “Ambo..Ambo…bangun nak”. Ambo langsung terjaga mendengar lirih sang ayah.
“Ayah sudah tak tahan lagi…”
“Tak usah ayah berujar seperti itu..” Sergah Ambo langsung dengan mengurut bagian tubuh yang sakit sambil mengusap-usap kepala.
“Setiap manusia rentan terhadap sakit itulah yang namanya manusiawi. Ayah pun demikian.” Kata Ambo.
“Dan setiap manusia pasti menjemput kematian. Ayah juga merasa demikian” balas Ayah ambo.
“Tidak. Tidak. Jangan berpikir kesana..Ayah. Mengapa harus berkata seperti itu?..” tangis ambo pecah.
“Ayah sudah tak tahan lagi..rasa sakit itu luar biasa, ayah tak tahan, Ambo..”
Sejak tiga hari lalu kondisi ayah Ambo drop; padahal sebulan yang lalu terlihat aktif. Memang seminggu lalu dokter rumah sakit mengklaim bahwa sakit yang diderita akan berujung kronis dan ganas.
“Bagaimanapun juga penyakit yang diderita bapakmu akan sulit membaik apalagi hasil pemeriksaan tadi menunjukkan bahwa penyakit kanker ganas itu…stadium III.” Imbuh dokter. Setelah mendengar keterangan dokter, muka Ambo pucat dan berkeringat.
“Jadi apakah ayah bisa membaik lagi, dok?”
“Aku tak bisa menjamin. Karena biasanya kanker di stadium III kontraksinya tinggi dan frontal. Pada umumnya si pasien sulit tertolong dan itu yang menyebabkan mereka diantara dua pilihan…umur panjang atau kematian..”. seketika itu juga Ambo lunglai, kelopak matanya bergetar. Didalam hatinya ia berujar,”Tuhan, Tuhan yang baik, jika memang harus demikian, aku rela Ayah pergi..tetapi apakah mukjizat hanya milik segelintir orang?”.
Pengaruh devosi itu yang membuat tepekur Ambo terjawab. Aksesibilitas loper Koran yang berencana membuka usaha sampingan untuk membantu pengobatan ayahnya tercetus sudah.
“Dengan kondisi ayah seperti itu, saya lah orang yang paling berdosa jika tidak membantunya, meringankan pergumulannya. Aku pasrah saja.”
Kebetulan salah satu hobinya yaitu mengoleksi kerang, kontan saja pikirannya langsung menuju usaha recycling kerang.
“Kalau kerang ini di cat, di vernis, di dumpul sedikit, pokoknya dibikin indah dan menarik, pasti menghasilkan uang. Jika tampilannya artistic pasti sangat berharga. Semoga uang yang nanti terkumpul akan sangat berharga buat ayah. Semoga ayah cepat sembuh.” Imbuhnya.
Esoknya, ia memilih absen bercongol di dunia koran dan jalanan, ia mulai menata perlengkapan bisnis kerang. Meskipun pikirannya bercabang tak menentu karena tak mungkin melupakan kondisi ayahnya yang terus berkecamuk bahkan hampir mengacaukan konsentrasinya untuk terjun sebagai pengusaha kerang, tekadnya sudah bulat, tidak mungkin pudar.
Perlahan namun pasti 10 kerang dalam tahap finishing touch. Kesulitan lain muncul yaitu kehabisan modal. Di hadapan ayahnya Ambo menerawang jauh. Ia bingung.
“Ayah, aku kehabisan modal.”
“Masak Ambo?” timpal ayahnya kasihan.
“Iya. Habis, dapat uang darimana lagi? Aku absen sejenak meloper.”
“Kalaupun ada beberapa logam uang yang berharga yang terselip di lemari ayah pastilah untuk kamu. Tapi sayang sudah terpakai.”
Ayahnya sesekali menahan rasa sakit melihat tampang Ambo ripuh. Mereka untuk sementara waktu hanyut bersama mencari solusi tepat. Ambo membutuhkan paling sedikit Rp. 5.000.000 untuk melanjutkan usahanya.
Relasi, kolega, korporat, membentang dihadapan. Perasaan miris dan malu-malu agaknya harus dikesampingkan sebab tanpa keberanian mengambil resiko, sebuah usaha tak akan kokoh. Banyak yang kenal Ambo dari segala profesi dari lingkar jalanan sampai kantoran tetapi tidak semua punya itikad baik dan tidak semua rela memberi. Ambo sadar di mana bumi di pijak di situ langit di junjung, dan sekarang ia harus menepis image dunia Indonesia yang kebanyakan sengkarut dengan kebohongan. Pernah diceritakan ayahnya, ada seorang teman meminjam uang padanya tetapi sampai sekarang belum diganti, sepeser pun tidak, pemberitahuan pun tidak pernah. Itu yang membuat jengkel ayahnya, karena masih ada orang yang berbohong pada saat kebutuhannya terpenuhi, mestinya orang itu berterimakasih mengembalikan utang tanpa comel sana sini.
“Sudah dikasihani masih juga didustai. Sudah diberi masih juga diingkari..” katanya
Trauma sang ayah membuat Ambo disuguhkan banyak sekali pertimbangan. Tidak mungkin ia membuat kejadian yang sama menimpa ayahnya. Debitor punya prinsip prudensial, kreditor seperti Ambo punya kewajiban melunasi utang sesuai perikatan yang ada. Jikalau Ambo tidak melunasi utang sampai jatuh tempo perjanjian , maka sanksi menjemput dia.
“Kau harus berhati-hati. Mencoba sesuatu mesti dengan perhitungan matang dan meyakinkan. Lebih baik kau pinjam saja uang di Bank, mendingan disitu daripada pinjam uang pada kenalanmu. Ingat dewasa ini banyak uang haram hasil jarahan, hasil penggelepan, penipuan, pencurian, dan jika kau terjebak di dalamnya alhasil sanksinya lebih berat.…: Penjara.” Ujar Ayahnya.
“Aku paham. Tapi proses di Bank teramat ribet menyulitkan sedangkan aku perlu uang secepatnya, ayah.”
“Baik, jika itu pilihanmu…terserah..”
Dilematis adalah hal yang memberatkan. Memutuskan dua hal yang saling mengisi dan menguntungkan teramat berat dan memusingkan raga. Mejelang tidur, pikiran Ambo terus meruyak kira-kira kolega siapa tumpuannya. Terus mengiang pesan pilihan Ayahnya antara bank dan kawan manakah yang terbaik dan menguntungkan tetapi semua tergantung pilihannya.
Besoknya sebelum koleganya ke kantor, Ambo duluan mencegat selamat pagi di depan pintu rumah kenalannya. Tak peduli meski belum sikat gigi dan mck, lidah Ambo meliuk bermohon.
“Om Sam, maaf mengganggu..”
“Ahh, tidak apa-apa Ambo. Kelihatannya ada keperluan mendesak, kenapa Ambo?” Tanya Sam.
“Hmm..sekali lagi aku harap ini tidak mengganggu aktifitas Om sebagai Wakil Rakyat.”
“Ahh, mana mungkin mengganggu, intinya aku belum tahu?!. Sebagai Wakil Rakyat, aku paling gress mendengar keluhan warga. Aku ada karena mereka jadi Do the first! Paling tidak begitu prinsipku apalagi sama kamu Ambo.” jawab Sam lagi.
“Hmm..kalau begitu terima kasih Om. Intinya aku hendak pinjam uang sama Om untuk tambahan modal usaha souvenir kerang saya yang lagi macet..”
“Ohh..maksudnya pinjam uang?
“Iya Om.”
“Boleh-boleh saja kok Ambo. Apalagi untuk usaha kamu itu yang tahan banting terhadap krisis ekonomi. Aku bisa membantumu berapapun yang kau mau.”
“Bolehkah aku pinjam sebanyak Rp. 5 juta, Om?” pinta Ambo malu-malu.
“Rp. 5 juta?” balas Sam kembali.
“Iya om..”
“Cuma Rp. 5 juta? Terlalu sedikit, Ambo.”
“Itu saja sudah cukup, Om.”
“Tidak ingin lebih, Ambo?” jelas Sam.
“Ahh…tidak, Om. Rp. 5 juta sudah cukup, Om.”
“Baik. Tunggu sebentar, Ambo.”
Wajah Ambo tak lagi kusut. Akhirnya penantian didepan mata. Pikirannya mulai terbuka melihat usaha terkembang lagi. Ia membayangkan suatu saat nanti dapat membantu pengobatan ayahnya karena biaya pengobatan yang sangat mahal dan kebutuhan hidup yang semakin kompleks. Hidup mandiri dan kontinuitas mengarungi tuntutan zaman selalu menjadi prioritasnya. Tetapi ada yang kurang padanya, yaitu Ambo selalu mengacuhkan resiko di kemudian hari.
Sam membopong sebuah bungkusan keras. Pandangan mata Ambo tak melek, tetap fokus.
“Ambo, barang ini baru dari brankas. Demi kamu aku rela meminjamkannya. Ini logam mulia yang harganya mungkin lebih dari Rp.5 juta tapi itu tak masalah. Kau cukup mengembalikan Rp. 5 juta saja, yang lebih itu bonus buat kamu.” Ungkap Sam.
Ambo terperangah hampir beku.
“Terima kasih Om, terima kasih banyak meski bukan uang tunai tapi ini sudah lebih dari itu.” Ucap Ambo.
Ambo tidak pernah terpikir akan menuai seperti itu. Bagaikan durian runtuh, hujan berkat membuat dia menjadi kalap, ia begitu hati-hati membawa logam mulia untuk digadaikan di pegadaian terdekat.
Pada malam hari setelah semua selesai, sambil menonton berita televisi, Ambo memperhitungkan uang senilai Rp. 5.500.000 dengan harapan besok atau lusa ia akan segera menghidupkan kembali roda usahanya. Ambo seketika terkejut berita panas di televisi.
“Anggota dewan berinisial S akhirnya ditangkap polisi karena melakukan penipuan terhadap tuan Hery berupa logam mulia yang ditaksir Rp. 5.500.000 yang saat ini sementara dilacak keberadaannya dan uang tunai senilai Rp. 15 juta..”
Bunyi berita televisi sejenak di mute oleh Ambo. Akhirnya Ambo benar-benar membeku. Tangannya gemetaran melihat proses penangkapan sang wakil rakyat itu. Mata Ambo inggang-inggung meski uang jutaan rupiah ada dihadapannya.
“Ohh…Tuhan…betapa bodohnya aku ini..”
Menangis ia tak bisa. Meradang juga tak bisa. Maka Ambo sepertinya mengheningkan cipta mengenang ketelodorannya.
“Sial..jelek sekali..” kepalanya angguk ke kanan ke kiri. “Buseeet.” Celetuk Ambo.
Massif kekecewaan berinfiltrasi ke dalam jiwa raga Ambo. Ia bingung harus berkata apa pada Ayahnya.
“Ayah..aku….”
“Aku sudah tahu, Ambo. Aku tahu, jauh sebelum berita televisi tadi beredar luas.” Kata ayahnya.
“Iya. Aku sungguh menyesali dan sangat kecewa. Tak tahu harus berbuat apa, ayah.?!”
Sakit Ayahnya tak kambuh sementara demi mendengarkan jajanan sial anaknya Ambo.
“Apa Ayah salah? Soal pinjam-meminjam itu punya banyak resiko bahkan bisa bahaya jika timbul hal-hal menjegal seperti berita tadi. Ayah sudah sarankan pinjam ke bank karena disitu dijamin aman dan terukur pinjamannya berapa. Tetapi kamu sukanya kolega. Hmm. Ujungnya penjara. Menyesal kan?” tutur Ayah.
“Iya..maafkan aku, ayah. Terus bagaimana selanjutnya?” Tanya Ambo ambigu.
“Besok, sebelum polisi lebih dulu menyeret kamu, serahkan uang itu sebagai tanda kamu kooperatif dan tidak tahu keadaan beliau sebelumnya. Dari sana kamu langsung menuju bank tentu bank terpercaya untuk melakukan negosiasi pinjaman. Yang pasti prosesnya tidak lama apalagi untuk sektor UKM.”
“Baik.Baik. Ayah. Hmm, kalau nanti di kantor polisi mereka akan jeblos aku dengan Sam di penjara?” ketus Ambo khawatir.
“Tidak mungkin Ambo. Yang namanya kooperatif itu membantu proses penyidikan apalagi kamu tidak ada sangkut pautnya dengan Sam. Yang salah itu Sam bukan kamu. Tapi yang menyesal itu kamu. Yang bodoh itu bukan uang Rp. 5 jutaan itu tetapi otakmu itu yang bodoh. Otak jelangkung.”
“Maksudnya apa, Ayah?”
“Otak yang ingin menyetir tapi tak suka disetir. Ada bahaya didepan tapi niatnya luar biasa. Akhirnya, uang datang sendiri pulang juga sendiri.”